Kenaikan Cukai Rokok 10% Tak Akan Tambah Pengangguran

Jakarta – Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mencatat, produksi rokok dalam 3 tahun terakhir mengalami penurunan sebesar 1% setiap tahunnya. Bahkan, dengan kenaikan cukai sebesar 10,04% pada tahun depan, penurunan diproyeksi bisa sampai 3% lantaran kondisi daya beli masyarakat saat ini dianggap tak sebanding dengan naiknya harga rokok nanti.

Lantas apakah itu memukul industri dan mengurangi tenaga kerja?

Ketua Umum Gappri Ismanu Sumiran menjelaskan, penurunan tenaga kerja tak selamanya terjadi lantaran adanya kenaikan cukai, kecuali besaran kenaikan cukai terlalu besar. Namun, biasanya pemerintah telah mengatur, kenaikan cukai untuk jenis rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) akan berada di bawah rokok jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) 

“Setiap keluarnya peraturan kenaikan cukai, SKT mesti di bawah SKM. Kalau ini nanti 10,04%, SKT nya pasti di bawah itu. Jadi pemerintah tidak akan menyamakan kenaikan SKT dan SKM. Pasti SKT lebih rendah atau selisih 2,5%. Itu tujuannya untuk melindungi tenaga kerja,” kata dia dalam jumpa pers di Mezzo Caffee Aston Rasuna, Jakarta, Selasa (24/10/2017).

Penurunan jumlah tenaga kerja SKT sendiri lebih dikarenakan adanya kebijakan pemerintah yang mengatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 1999 tentang penanggulangan masalah merokok bagi kesehatan. Negara memerintahkan pembatasan maksimal kandungan tar dan nikotin pada rokok. Hal ini pun sontak membuat produksi rokok kretek tangan berkurang drastis dan justru memproduksi rokok jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang memiliki kandungan tar dan nikotinnya lebih rendah, sampai akhirnya muncul produk mild atau rokok putih.

Gappri mencatat, jumlah tenaga kerja SKT terus berkurang sejak 2012 hingga 2016, dari 195.885 orang menjadi menjadi 147.501 di tahun 2016.

“Kalau pengurangan tenaga kerja, itu adalah jenis rokok tangan. Faktornya, penurunan ini adalah kebutuhan dari pasar sendiri, di mana terjadi pergeseran konsumen, dari rokok yang tradisional, penghisapnya tumbuh remaja-remaja yang menerima rokok putih dan sebagainya,” tutur dia.

“Jadi ada shifting. Kaitannya soal ada regulasi yang membuat rokok waktu itu kadar nikotinnya rendah. Maka industri menyesuaikan, dan itu waktunya 10 tahun. Setelah 10 tahun, keluar lagi namanya Mild,” tambahnya.

Regulasi tersebut diproyeksi makin memberatkan produksi SKT lantaran adanya potensi kenaikan cukai yang bisa berimplikasi pada pengurangan produksi rokok, yang akhirnya bermuara pada pengurangan tenaga kerja.

“Bisa dibayangkan betapa peliknya apalagi kalau bicara sigaret kretek tangan. Itu padat karya, SMD nya 90% wanita. Kalau sudah bicara tentang karyawan wanita, sesungguhnya pemerintah harus bisa melihat ini menjadi income ganda bagi keluarganya karena suami istri bekerja,” ujar dia.

“Jadi kadang-kadang dari industri jam kerjanya dikurangi. Tapi tak bisa dihindari terjadi seperti itu. Memang jadi kemelut untuk menyelesaikan PHK nya. Tapi lama-lama industri memang sudah siap, jika ada PHK, sudah disiapkan nilai besaran pesangon dan sebagainya,” tandasnya. (eds/mkj)

Sumber